Abstrak
Indonesia adalah negara agraris tapi sektor pertanian justru menjadikan para petani sebagai buruh di lahan sendiri. Saat ini petani menjadi pekerjaan yang dipandang sebelah mata dan profesi kelas dua di masyarakat Indonesia. Kondisi berakibat pada semakin ditinggalkannya sektor pertanian oleh angkatan kerja karena memiliki masa depan kurang menguntungkan.
Masalah pertanian di Indonesia disebabkan oleh kebijakan pertanian yang lebih memfokuskan pada peningkatan produksi pertanian dan kurang memperhatikan kualitas hidup para petani. Keberpihakan pada petani sangat kurang dan nilai tambah pertanian justru tidak dinikmati para petani. Alih-alih meningkatkan produksi yang terjadi justru semakin terpuruknya sektor pertanian maupun petani.
Nilai tambah pertanian harus dinikmati oleh petani sehingga kehidupannya menjadi semakin baik dan proses produksi tetap berlanjut. Petani semakin terberdayakan karena aktivitasnya bukan lagi bersifat subsisten tapi menjadi lebih maju. Kebijakan ini tidak akan berhasil apabila tidak ada political will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan ini mencakup lintas wilayah, sektor, dan pelaku.
Kata Kunci : Pembangunan, pertanian, petani
Pendahuluan
Indonesia adalah Negara agraris yang berbasis pada sektor pertanian. Ironi yang terjadi adalah pertanian tidak bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Swasembada beras yang tercapai pada tahun 1984 ternyata tidak bisa dipertahankan dan hanya dua tahun kemudian Indonesia terus-menerus membuka kran impor beras (Iskandar, 2006). Menjadi importir beras merupakan kecelakaan besar ketika swasembada pangan telah tercapai. Puncaknya adalah pada tahun 1997 dimana Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 5,7 juta ton (Nugraha, 2006). Meskipun sebesar volume impor pada tahun 1997, tapi impor beras menjadi ketergantungan karena produksi dalam negeri tidak pernah mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Stok cadangan beras nasional yang tersedia harus mampu memenuhi konsumsi masyarakat untuk waktu minimal tiga bulan. Patokan ini sebagai upaya untuk menghindari kelangkaan dan gejolak harga. Ketika stok berkurang dan produksi beras dari petani lokal tidak bisa menutup kekurangan tersebut, maka pemerintah membuka kran impor. Untuk meminimalkan dampak politis yang akan terjadi, pemerintah biasanya mengungkapkan bahwa impor adalah untuk menambah stok cadangan nasional dan bukan untuk konsumsi masyarakat secara langsung. Pemerintah melalui tender akan menunjuk rekanan untuk mengimpor beras dan langsung masuk gudang.
Namun yang terjadi adalah membanjirnya beras impor di pasaran meskipun pada saat itu tidak ada kebijakan untuk melepas beras impor ke pasaran. Hal ini disebabkan pengimpor beras baik yang legal maupun ilegal, bahkan bulog, melepas stok beras yang dimiliki termasuk dari impor ke pasaran. Ketika harga beras meningkat, konsumen langsung menyerap produksi beras dari petani dan tidak sempat masuk ke gudang bolug sehingga stok beras yang ada di gudang hanya beras impor. Pada saat masa simpan beras di gudang habis mau tidak mau beras impor tersebut dilepas ke pasar sehingga terkadang ditemui keadaan beras impor yang telah rusak tapi beredar di masyarakat. Sedangkan bagi pengimpor beras, melepas beras impor ke pasar adalah untuk mencari keuntungan semata dengan bermodal surat ijin impor beras baik resmi atau tidak. Beras impor yang dijual di pasar dalam negeri harganya lebih mahal di banding luar negeri di samping itu pajak impor sangat rendah. Dibukanya kran impor beras biasanya diikuti dengan diturunkannya pajak impor.
Perbedaan harga beras impor dengan beras lokal dan kualitas yang hampir sama membuat masyarakat lebih memilih membeli beras impor. Akibatnya petani menjadi merugi dan sangat terpukul karena harga beras lokal lebih mahal dibandingkan beras impor. Mahalnya beras lokal di tingkat petani diakibatkan oleh mahalnya biaya produksi petani dari persiapan lahan hingga menjadi beras. Seharusnya kelangkaan beras di masyarakat membuat harga menjadi tinggi. Dengan harga yang tinggi, petani menjadi senang karena ongkos produksi dapat ditutup dan terdapat revenue tambahan. Mekanisme pasar yang seharusnya bisa menguntungkan petani ketika terjadi kelangkaan beras ternyata ’diinterupsi’ sehingga tidak berjalan normal. Interupsi tersebut dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan impor beras. Mekanisme pasar dibiarkan berjalan hanya ketika panen raya dimana stok yang melimpah berakibat pada menurunnya harga beras. Petani merugi karena harga penjualan tidak mampu untuk menutup ongkos produksi. Kondisi ini menyebabkan petani selalu berada pada keadaan merugi terus-menerus.
Multiplier effect yang terjadi adalah petani semakin miskin. Untuk memenuhi ongkos produksi, petani biasanya menerapkan sistem yarnen (Kurniawan, 2006). Petani berharap pada saat panen dan dengan harga yang disesuaikan ongkos produksi dapat meraup keuntungan, lebih-lebih ketika harga tinggi. Namun akibat beras impor, turunnya harga saat panen raya akan mendatangkan kerugian. Apabila gagal panen, kondisi yang dihadapi petani lebih memprihatinkan. Petani akan dililit hutang dan jumlahnya semakin lama semakin besar. Dampaknya adalah semakin banyaknya petani miskin di Indonesia. Pada 2003, sektor pertanian menyumbang kemiskinan hingga 56 juta orang, jumlah petani miskin mencapai 13,7 juta rumah tangga (Iskandar , 2006).
Kebijakan Swasembada Pangan
Pada dekade 70-an, konflik politik yang berkepanjangan di Indonesia menimbulkan kemerosotan ekonomi yang tajam dengan ditandai melemahnya nilai mata uang rupiah mencapai 1000%. Kebijakan pemotongan nilai mata uang ternyata tidak efektif dan tetap melemahkan daya beli masyarakat. Hal ini berakibat pada ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok sehingga membeli bahan pangan yang kurang layak untuk dikonsumsi. Beras sebagai bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat merupakan barang langka dan membutuhkan membutuhkan biaya besar untuk memperolehnya.
Untuk mengatasi kelangkaan beras, Pemerintah Orde Baru melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita) I mengupayakan untuk menciptakan pembangunan dengan fokus utama pada ketersediaan pangan. Ketersedian pangan terutama makanan pokok merupakan prasyarat untuk merambah kepada langkah pembangunan selanjutnya. Mengingat Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani, maka wajar apabila sektor pertanian menjadi primadona dalam pembangunan. Kebijakan pertanian yang dicanangkan pemerintah sekaligus mengakomodir gerakan revolusi hijau yang menjadi gelombang besar di dunia pada dekade 50-an hingga 80-an.
Gerakan revolusi hijau di Indonesia dilaksanakan secara terencana melalui program-program, antara lain: bimbingan masyarakat (bimas), intensifikasi khusus (insus), dan ekstensifikasi yang didalamnya diterapkan Panca Usaha Tani (PUT) (Iskandar, 2006). Program bimas adalah kegiatan pendampingan kepada para petani melalui aktivitas penyuluhan pertanian. Petugas penyuluh pertanian langsung datang ke daerah-daerah yang secara kultural merupakan lumbung padi bagi lingkungan di sekitarnya. Inventarisir permasalahan yang dihadapi oleh para petani dilakukan dan kemudian dibantu pemecahannya dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Insus merupakan program untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian khususnya padi melalui pengembangan tata kelola lahan. Dengan jumlah lahan yang terbatas, petani diharapkan bisa tetap meningkatkan produksinya melalui penerapan teknologi pertanian yang lebih baik. Berbeda dengan insus yang cenderung mengembangkan pertanian secara kualitatif, ekstensifikasi pertanian adalah program pengembangan yang bersifat kuantitatif. Perluasan lahan pertanian didorong oleh pemerintah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lahan luas. Ketiga kegiatan tersebut bermuara pada program Panca Usaha Tani (PUT). PUT merupakan program yang dikenalkan oleh pemerintah kepada petani untuk menciptakan tata kelola pertanian yang lebih baik. Kegiatan yang dilaksanakan dalam PUT mencakup keseluruhan aspek yang berhubungan dengan pertanian, yakni mulai dari penyiapan dan pengolahan lahan, pemilihan dan penanaman bibit, pemeliharaan tanaman, pemberian pupuk, penanganan hama dan penyakit tanaman, dan mekanisme pasca panen.
Program PUT yang dilaksanakan sempat menyebabkan kinerja pertanian meningkat. Produksi padi berkembang dari 2,5 menjadi 10 ton gabah, kedelai 0,6 menjadi 1,6 ton, jagung 1,6 ton menjadi 6,8 ton hektar/musim tanam (Samhadi, 2006). Keberhasilan dalam meningkatkan kinerja pertanian memuncak pada tahun 1984 dimana Indonesia menjadi negara swasembada beras. Bahkan Indonesia memperoleh penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) sebagai Negara yang berhasil menjalankan pembangunan di bidang pertanian dan menjadi percontohan negara lain.
Problematika Pertanian di Indonesia
Setelah swasembada pangan tercapai, sektor pertanian lambat laun ditinggalkan dan semakin termarjinalkan secara sistematis sehingga mulai tahun 1986 Indonesia menjadi pengimpor beras (Samhadi, 2006). Tidak hanya beras, pengadaan pangan seperti kedelai, jagung, dan gula terpuruk terus dan ketagihan impor sampai sekarang (Iskandar, 2006). Program PUT yang dijalankan petani semakin lama memperlemah posisi petani dan pendapatan petani ternyata mengalami kemerosotan yang luar biasa.
Program PUT ternyata menyebabkan pertanian sebagai kegiatan yang padat modal atau biaya tinggi dan bukan lagi kegiatan padat karya. Setiap tahapan dalam PUT membutuhkan ongkos produksi yang tinggi. Petani biasanya sudah kehabisan modal ketika mulai penyiapan dan pengolahan lahan, membeli benih, dan ongkos tanam. Penyiapan dan pengolahan lahan intensif agar efisiensi maka digunakan traktor dan pupuk penyubur lahan. Pemanfaatan traktor memang mempercepat proses pembalikan permukaan tanah tapi roda traktor mengakibatkan tanah menjadi lebih keras dan akar tumbuhan padi sulit menembus pemukaan tanah. Akibatnya pertumbuhan tanaman tidak maksimal dan semakin lama kepadatan tanah berakibat menurunnya kualitas tanah untuk ditanami padi. Petani mengoperasikan traktor dengan menyewa sehingga mengeluarkan ongkos produksi tambahan. Pemberian pupuk penyubur juga membutuhkan ongkos produksi cukup besar terlebih lagi harga pupuk cenderung tinggi pada masa tanam. Tata niaga pupuk diatur oleh pemerintah tapi banyak pelaku pasar yang mempermainkan harga sedangkan pemerintah tidak menindak secara tegas keadaan tersebut. Varitas benih sebagai hasil teknologi budidaya pertanian memiliki harga yang tinggi dan hanya bisa untuk sekali tanam. Kemudian ongkos tambahan diperlukan ketika lahan siap ditanami. Kebutuhan akan pupuk maupun pertisida untuk pemeliharaan tanaman memperbanyak biaya sehingga petani yang mau tidak mau menambah ongkos produksi. Ketika tidak memiliki dana maka berhutang.
Petani bisa sedikit bernafas -walaupun serak- ketika panen memang berhasil. Tapi posisi petani lemah apabila panen raya. Harga gabah turun, dan terkadang dari pada merugi petani menjual gabah dibawah harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 1.230/kg. Persoalan klasik yang muncul ketika menentukan HPP adalah mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen, tetapi pada saat yang sama juga tidak memberatkan konsumen (Jamal, 2006). Namun berdasarkan data BPS rata-rata harga transaksi di tingkat petani adalah Rp 900/kg (Siagian, 2006). HPP sangat merugikan karena harga gabah tertinggi dibatasi tapi biaya produksi tingkat kesediaannya tidak dijamin tapi melalui mekanisme pasar.
Kebijakan pertanian pada umumnya dan beras pada khususnya ternyata menempatkan petani sebagai pemain utama sektor ini dalam posisi yang sangat menyedihkan. Petani sebagai tulang punggung pertanian berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Para petani bukanlah orang yang malas sehingga menjadi miskin. Namun sekeras apapun bekerja, pendapatan yang diperoleh sangat kecil dan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Sedangkan untuk membiayai ongkos produksi periode berikutnya, satu-satunya cara adalah berhutang.
Apakah kondisi ini akan terus dibiarkan berlarut-larut? Atau memang profesi petani sudah tidak layak lagi ada di Indonesia karena yang terjadi adalah penindasan, bahkan pembunuhan, secara pelan-pelan. Atau mungkin pemerintah berencana untuk menjadikan Indonesia menjadi pengimpor utama beras di dunia. Kondisi ini bisa jadi terwujud ketika profesi petani benar-benar hilang di Indonesia.
Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru sejak tercapai swasembada pangan adalah dengan menggeser pusat pertumbuhan dari desa ke kota. Gerakan Revolusi Hijau telah berhasil di Indonesia tapi belum mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Sektor yang dapat dengan cepat mendorong pertumbuhan ekonomi adalah industri khususnya manufaktur karena menyerap tenaga kerja dengan jumlah banyak dan modal dalam jumlah besar. Industri dapat berkembang apabila infrastrukturnya memadai dan itu hanya ada di perkotaan. Sejak itulah sektor pertanian yang berbasis di pedesaan dilirik sebelah mata oleh pemerintah.
Michael Lipton dalam bukunya Why Poor People Stay Poor mengungkapkan teori tentang Urban Bias (Lipton, 1977). Bias Perkotaan (Urban Bias) ditandai dengan: 1) Adanya kebijakan politik pangan murah (rice premium policy) yang dibayar oleh urban areas dalam wujud subsidi harga pangan bagi wilayah perkotaan. 2) Adanya gejala “price twists”; yaitu kecenderungan “cost of living” yang meningkat di countryside dan pengembalian (remitance) yang lebih rendah pada mereka, sementara pada saat yang sama tetap menjaga biaya rendah untuk urban dwellers (penduduk kota). 3) Adanya strategi investasi yang tidak seimbang pada sektor publik antara desa-kota dan penyediaan infrastruktur sosial yang terbatas di wilayah pedesaan. 4) Adanya arus “brain-skill drain” dari wilayah pedesaan yang mengalir ke wilayah perkotaan.
Keempat tanda bias perkotaan yang diungkapkan oleh Lipton tampak dalam pembangunan di Indonesia. Penentuan HPP adalah salah satu bukti bahwa urban bias terjadi. HPP mengakibatkan keseragaman harga baik di kota maupun desa dan ongkos ketika digiling menjadi beras, harga ditingkat konsumen bisa ditekan dan yang untung adalah masyarakat perkotaan. Pemerintah membeli dalam bentuk gabah sehingga nilai tambah ketika berubah menjadi beras tidak diperoleh oleh petani tapi pengusaha yang berasal dari kota. Pembangunan infrastruktur perkotaan berkembang sangat cepat berbeda dengan di desa. Banyak tenaga kerja dari desa yang berpindah ke kota untuk mencari pekerjaan. Walaupun urbanisasi di perkotaan adalah masalah tapi menjadi konsekuensi logis dari adanya industrialisasi.
Industrialisasi di sektor pertanian yang terjadi di Indonesia memiliki logika yang keliru. Hal ini disebabkan karena industrialisasi menggusur capaian prestasi bidang pertanian. Seharusnya pertanian yang telah ada di dorong untuk mendukung industrialisasi yang terjadi bukan sebaliknya. Pertanian dijadikan material dasar bagi industrialisasi sehingga menjadi semakin mantap dan memiliki nilai tambah.
Pemerintah harus berani membuat lompatan untuk menyelamatkan sebagian besar rakyatnya yang menjadi petani. Pekerjaan ini tidak mudah tapi harus dilakukan dan bertahap. Tujuannya adalah untuk mengembalikan keberhasilan Indonesia sebagai negara swasembada beras di satu sisi dan di sisi lain tetap menjalankan roda industrialisasi yang lebih membumi dan sesuai dengan kapasitas masyarakat. Industrialisasi yang terjadi harus mengakar kepada masyarakat. Teknologi maju dalam pertanian perlu diraih tapi pertanian rakyat juga harus diperhatikan.
Ketercapaian dari program ini adalah mengembalikan profesi petani pada tempat yang terhormat. Industrialisasi pertanian diarahkan pada penciptaan produk-produk pertanian yang dapat diserap oleh masyarakat dan nilai tambah yang ada dapat dibagi secara merata. Nilai tambah selama ini diterima oleh penduduk perkotaan bukan para petani. Ketika petani bisa menikmati nilai tambah dari produk-produk pertanian yang dihasilkan, maka pemberdayaan akan terjadi dan tidak rentan terhadap kemiskinan.
Solusi
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono telah mencanang program Revitalisasi Pertanian. Program ini mencakup delapan kegiatan, yaitu: 1) mencegah KKN; 2) mengamankan ketersediaan bahan pangan menghadapi hari-hari besar keagamaan; 3) memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan musim tanam 2004/2005; 4) mengurangi penganguran dan kemiskinan; 5) merumuskan kebijakan kelembagaan dan keuangan untuk pertanian dan pedesaan; 6) merumuskan kebijakan infrastruktur pertanian; 7) menangani impor ilegal dan pemalsuan sarana produksi pertanian; 8) serta merumuskan kebijakan perdagangan internasional (Widiyanti, 2005). Dua program yang berhasil dilakukan SBY adalah kedua dan ketiga sedangkan ke delapan program lainnya belum terlihat hasilnya. Hal ini disebabkan karena kedelapan program revitalisasi pertanian tidak menyentuh akar masalah yang menggelayuti pertanian di Indonesia secara langsung. Ide yang ditawarkan sangat luas.
Menurut HS. Dillon diperlukan adalah reformasi yang bersifat paradigmatis di bidang pertanian. Pertanian harus diarahkan pada kebijakan yang secara umum adalah people driven (Dillon, 1999). Selama ini masyarakat kurang diberi keleluasaan untuk mengembangkan diri. Perlu ada kebijakan yang membuka peluang yang bisa membuat petani berkembang dan mandiri. Kebijakan pemerintah diarahkan pada tersedia ‘ruang’ bagi petani untuk bisa menerapkan teknologi tepat guna yang bisa memberdayakan dan mandiri sehingga petani tidak perlu merasa untuk melawan arus atau berseberangan dengan program pertanian pemerintah karena ada rambu-rambu untuk melakukannya dan bersifat umum dan menyeluruh. Sosialisasi termasuk menjadi masalah utama berbagai kebijakan yang dijalankan di Indonesia. Secara politis hal ini sangat positif karena keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan.
Platform industrialisasi sektor-sektor yang berkaitan dengan pertanian harus diubah. Industrialisasi tidak hanya untuk menyuplai sektor pertanian tetapi mengembangkan produk-produk pertanian sehingga memiliki nilai tambah. Hal ini penting dilakukan agar variasi produk tidak hanya lebih beragam tapi produk yang dihasilkan juga tidak sia-sia. Subtitusi produk makanan pokok termasuk dalam kegiatan ini. Penyeragaman makanan pokok masyarakat menjadi beras tidak seharusnya terjadi. Penemuan varitas padi unggulan sangat penting sehingga bisa meningkatkan produksi. Namun ketika produksi berlimpah, industri harus bisa menyerapnya. Inovasi dalam teknologi pangan sangat penting untuk dilakukan. Kesulitan mengidentifikasi kebutuhan tiap-tiap daerah terhadap produk-produk pertanian dan bentuk pengembangan menjadi kendala kegiatan ini.
Perbaikan tata niaga pupuk dan obat tanaman sangat penting. Ketergantungan terhadap pupuk dan obat kimiawi harus dikurangi karena saat ini telah berkembang budidaya tanaman organik. Ongkos produksi terbesar yang dikeluarkan petani adalah dua jenis sarana produksi pertanian (saprotan) ini. Pemahaman yang keliru sering terjadi dalam penggunaan dua saprotan ini sehingga yang terjadi adalah penghamburan. Banyaknya pemain pada tata niaga pupuk dan obat tanaman berpeluang pada munculnya resistensi pasar atas kebijakan ini. Apabila kebijakan ini berhasil, yang diuntungkan adalah petani.
Penentuan HPP bukanlah perkara mudah karena banyak faktor yang diperhitungkan. Apabila seluruh faktor yang mempengaruhi penentuan HPP di Indonesia dikumpulkan maka tidak akan ada angka yang tepat untuk semua daerah. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah menentukan HPP sesuai dengan kemampuan dan tingkat harga yang paling masuk akal bagi daerah yang bersangkutan. Dengan demikian HPP tiap-tiap daerah bisa berbeda-beda.
Aspek teknis juga bisa dikembangkan dengan mengembangkan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah cara pertanian konvensional dengan inovasi pakar maupun petani dalam proses produksi pertanian, seharusnya aman bagi lingkungan dan hemat biaya (Padmowijoto, 2006). Teknologi yang berkembang selama ini bisa diadopsi oleh petani tapi petani melakukannya dengan menerapkan teknologi tepat guna yang mereka kembangkan sendiri. Saat ini mulai berkembang teknologi pertanian organik tapi model pertanian ini masih dianggap berbiaya tinggi. Memang dalam jangka panjang biaya tinggi bisa dipangkas sehingga sama dengan teknologi revolusi hijau tapi waktu normal untuk mencapai hal tersebut adalah 8 musim (Sodikin, 2006). Alternatif yang paling masuk akal adalah memberikan peluang bagi masyarakat petani untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan yaitu menerapkan teknologi secara proporsional dan menerapkan teknik subtitusi yang bisa menghemat biaya di samping menghindarkan diri dari kemerosotan tingkat kehidupan petani.
Kesimpulan
Pihak yang paling dirugikan oleh kebijakan pertanian khususnya beras adalah petani sendiri. Petani berada pada posisi diambang kemiskinan. Ketika telah menjadi miskin, petani semakin terpuruk karena kemiskinan menjadikan petani rentan, tidak berdaya dan voiceless (SMERU, 2002). Kondisi ini disebabkan oleh ketidakmampuan petani untuk memperoleh nilai tambah atas produk yang dihasilkannya. Nilai tambah dari pertanian diambil oleh pengusaha dan dunia industri.
Nilai tambah pertanian harus dinikmati oleh petani. Dengan nilai tambah tersebut, petani dapat membiayai hidupnya di samping proses produksi pertanian yang menjadi mata pencahariannya. Petani semakin terberdayakan karena aktivitasnya bukan lagi bersifat subsisten tapi menjadi lebih maju. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan pertanian khususnya beras adalah memberikan nilai tambah produk pertanian khususnya padi kepada petani.
Untuk melaksanakan kebijakan yang memberikan nilai tambah produk pertanian kepada petani adalah tidak mudah. kejadian yang paling merugikan petani adalah ketika peluang untuk memperoleh nilai tambah tersebut diinterupsi oleh pemerintah melalui impor beras. Pemerintah harus betul-betul mempertimbangan keputusan untuk mengimpor beras. Kontraksi pasar terhadap kenaikan harga akibat kelangkaan dapat diukur sehingga tidak terburu-buru membuat keputusan. Memang terdapat indikasi bahwa keputusan untuk impor beras adalah tekanan dari pihak asing (donatur bantuan). Namun seiring lunas utang ke beberapa donatur, Indonesia harus berani mengambil sikap dan mandiri dalam membuat kebijakan.
HPP dalam bentuk gabah sebagai patokan harus diubah dalam bentuk beras. Ketetapan HHP setiap daerah juga bisa berbeda. Dalam hal ini Bulog harus membeli langsung dari petani atau koperasi petani. Yang sering terjadi, Bulog membeli dari pengepul (tengkulak). Pada saat panen raya, seharusnya Bulog menarik persedian pasar yang melimpah sesuai HPP. Namun yang terjadi, Bulog cenderung bermain sebagai pengusaha dan menekan harga di tingkat petani.
Bulog harus mengambil peran penting dalam memantau dan mengawasi tata niaga beras. Selama ini posisi Bulog ambigu yakni sebagai regulator dan pemain. Sebagai regulator, Bulog seharusnya tidak diperkenankan menjadi pemain. Dalam sepakbola akan sangat sulit mengalahkan tim yang bermain tapi merangkap sebagai wasit.
Kebijakan ini tidak akan berhasil apabila tidak ada political will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan ini mencakup lintas wilayah, sektor, dan pelaku. Perbedaan kepentingan antar faktor pasti terjadi dan hal itu sangat alamiah. Ketika setiap faktor tidak bisa duduk bersama maka realisasi kebijakan ini akan semakin sulit terwujud.
Daftar Pustaka
_______, 2002, Buku Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan, SMERU research institute, www.smeru.or.id,
Amir Sodikin, 2006, Perlawanan Bisu Kaum Tani Tertindas, Fokus Kompas, 25 Nov 2006
Michael Lipton, 1977, Why Poor People Stay Poor, Harvard University Press
Erizal Jamal dkk., 2006, Analisis Kebijakan Penentuan Harga Pembelian Gabah, Balitbang, DEPTAN
HS. Dillon, 1999, Politik Pertanian, PSDAL-LP3ES, http://psdal.lp3es.or.id/dp35ar2.html, update 23 Nov 2006
Mukhamad Kurniawan, 2006, Petani, Kuli di Lahan Sendiri, Fokus Kompas, 25 Nov 2006
Naomi Siagian, 2006, Penanganan Masalah Pertanian Masih Bersifat ”Ad Hoc”,Sinar Harapan, http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2004/1229/ind1.html, 23 Nov 2006
Noer Soetrisno, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), dalam Arin Widiyanti, 2005, Hanya 2 Program Revitalisasi Sektor Pertanian Yang Berjalan, http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/02/tgl/01/time/221741/idnews/283360/idkanal/4, update 26 Nov 2006
Pepih Nugraha, 2006, Impor Beras Jalan Terus, Fokus Kompas, 25 Nov 2006
Soemitro Padmowijoto, 2006, Pertanian Berkelanjutan Seharusnya Hemat, Kompas.com, update 23 N0v 2006
Sri Hartati Samhadi,2006, Kambing Hitam Kemiskinan, Fokus Kompas, 25 Nov 2006
Yusep Iskandar, Refleksi 59 Tahun Kemerdekaan Petani, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/19/1105.htm, update 23 Nov 2006
traffic analysis
sumber : http://dwih74.blog.com/2009/12/15/pembangunan-pertanian-yang-berpihak-pada-petani/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar