PENGANTAR
Pada makalah ini akan dibahas mengenai peran pertanian dalam pembangunan. Pada bagian awal akan dijelaskan mengenai kontribusi pertanian dalam mencapai keberhasilan pembangunan. Konsep strategi pembangunan berimbang merupakan tujuan pembangunan yang paling ideal. Akan tetapi negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan pembangunan di bidang pertanian dan industri sekaligus. Sehingga pemerintah negara berkembang harus menekankan pada pembangunan di sektor pertanian terlebih dahulu sebagai batu loncatan untuk pembangunan di bidang industri.
Bagian kedua menjelaskan masalah harga produk pertanian. Di sini dipermasalahkan apakah harga harus ditentukan oleh mekanisme pasar ataukah ditentukan oleh pemerintah, harga pertanian yang mahal akan menyebabkan konsumen tidak mampu membeli, di lain pihak harga pertanian yang terlalu murah akan menghambat produktivitas pertanian. Selain itu pada bagian kedua juga akan dibahas mengenai konsekuensi adanya penetapan harga. Disarankan bahwa harga seharusnya dibentuk melalui mekanisme pasar, intervensi pemerintah justru akan menimbulkan masalah. Di Indonesia sendiri, pemerintah Indonesia memegang kendali harga melalui Bulog, dengan tujuan melindungi petani, akan tetapi banyak kebijakan yang dipertanyakan seperti kebijakan impor beras dari luar negeri dengan tujuan menstabilkan harga. Hal ini justru membuat rakyat berpikir kalau pemerintah ingin menekan harga pertanian serendah mungkin, sebagai upaya menahan laju inflasi.
Pada bagian ketiga dijelaskan mengenai faktor-faktor produksi seperti tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Dijelaskan bahwa penggunaan tanah harus bijaksana, jangan sampai merusak kesuburannya. Pemerintah memiliki kewajiban memberikan informasi, pelatihan dan perkembangan teknologi kepada petani. Pendanaan di daerah pedesaan harus diciptakan untuk mendukung aktivitas pertanian. Aspek sosial dari teknologi yaitu green revolution juga dibahas secara mendalam. Penggunaan teknologi harus berhati-hati jangan sampai menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, sehingga tercapai pembangunan pertanian yang sustainable.
Peran pemerintah harus dibatasi dengan membiarkan sektor swasta menjalankan roda pertanian, akan tetapi pemerintah harus mendukung pertanian dengan menyediakan infrastruktur, informasi, membangun pasar, dan membuat kebijakan publik yang tidak merugikan sektor pertanian. Selain itu pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan makro supaya tidak menghancurkan pertanian.
Pada bagian akhir dijelaskan bahwa di dunia sudah memiliki pasokan pangan yang cukup, akan tetapi terdapat masalah distribusi pangan pada beberapa daerah yang menyebabkan kelaparan. Juga dipermasalahkan mengenai pilihan antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Dari segi ekonomi ketahanan pangan lebih menguntungkan daripada swasembada pangan, hal ini didukung oleh teori keunggulan komparatif (comparative advantage) dari David Richardo.
PERTANIAN DAN PROSES PEMBANGUNAN
Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi sektor industri dan sektor jasa. Hanya sebagian kecil masyarakat dalam negara industri yang hidup dari sektor pertanian (Lynn, 2003).
Konsep strategi pembangunan berimbang (balanced growth), yaitu pembangunan di sektor pertanian dan sektor industri secara bersamaan merupakan tujuan pembangunan yang paling ideal. Pada kenyataannya konsep strategi pembangunan berimbang tidak dapat dilakukan oleh negara berkembang, hal ini dikarenakan sumber daya yang tidak mencukupi untuk melakukan pembangunan di sektor pertanian maupun sektor industri sekaligus (Lynn, 2003).
Kondonassis et al. (1991) menjelaskan bahwa pembangunan pada sektor pertanian merupakan batu loncatan menuju pembangunan pada sektor industri. Keberhasilan pembangunan industri di negara Jepang dan Taiwan merupakan lanjutan keberhasilan pembangunan di sektor pertanian. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dan Taiwan merupakan kontribusi yang sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian. Pemerintah Jepang dan Taiwan juga berhasil dalam membangun budaya kerja sehingga rakyat mereka memiliki produktivitas yang tinggi.
Kondonassis et al. (1991) meringkaskan proses pembangunan pertanian menjadi pembangunan industri. Proses tersebut adalah sebagai berikut:
Makanan dibutuhkan populasi di daerah kota yang terus meningkat.
Perolehan mata uang asing karena melakukan ekspor.
Peningkatan mata uang asing dari hasil subtitusi impor produk pertanian.
Tabungan di sektor kota dan pajak pendapatan kepada pemerintah, yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur karena peningkatan pendapatan di sektor pertanian.
Peningkatan permintaan untuk produk industri karena pendapatan di sektor pertanian yang lebih tinggi.
Peningkatan produktivitas di sektor pertanian menyebabkan pekerja dapat beralih ke sektor industri.
Pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan. Tabel 1 menyajikan data struktur produksi pada negara berkembang. Data pada tabel 1 menggambarkan negara yang memiliki pendapatan lebih tinggi mempunyai persentase output produksi pertanian yang lebih kecil. Porsi produksi pertanian di negara berkembang telah menurun sejak pertengahan 1960-an (Lynn, 2003).
Tenaga kerja di bidang pertanian juga semakin menurun antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1990 dari 83% menjadi 63% di Afrika, 82% menjadi 62% di Asia, dan dari 54% menjadi 25% di Amerika Latin. Tren ini sesuai dengan Engel’s Law yang menyatakan bahwa kecenderungan orang dalam mengkonsumsi barang yang berbeda dalam proporsi yang berbeda ketika pendapatan meningkat. Saat pendapatan meningkat orang akan mengurangi persentase konsumsi pada makanan. Hal ini menggambarkan akan tantangan yang harus dihadapi oleh negara berkembang. Negara berkembang harus bekerja keras untuk percepatan pembangunan industri, tanpa diimbangi dengan pembangunan di sektor pertanian yang cepat (Lynn, 2003).
Kenyataan sejarah pada pembangunan mengindikasikan bahwa industrialisasi di Inggris pada abad ke-18 dan abad ke-19 dapat terjadi setelah perbaikan yang signifikan dalam produktivitas sektor pertanian. Pertumbuhan Amerika dipacu oleh kemampuan pertaniannya yang sangat besar. Di Uni Soviet, pertumbuhan industri terjadi karena eksploitasi brutal terhadap petani kecil, dan pada waktu itu juga Uni Soviet juga mengimpor sejumlah besar makanan (Lynn, 2003).
Kontribusi Pertanian pada Pembangunan
Pertanian memiliki kontribusi yang sangat besar kepada pembangunan (Lynn, 2003). Kontribusi pertanian tersebut adalah:
1. Meningkatkan persediaan makanan.
2. Pendapatan dari ekspor.
3. Pertukaran tenaga kerja ke sektor industri.
4. Pembentukan modal.
5. Kebutuhan akan barang-barang pabrikan.
Tabel 2 menunjukkan pentingnya pertanian di dalam pertumbuhan sebuah ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian, pertumbuhan pertanian akan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah bruto (PDB). Guinea-Bissau, sebuah negara Afrika Barat, pada tahun 1999 memperoleh 60 persen pendapatan daerah bruto (PDB) dari sektor pertanian, 15 persen dari sektor industri, dan sisanya dari sektor jasa. Apabila sektor industri tumbuh sebesar 6 persen pertahun, dan sektor jasa tumbuh 10 persen pertahun, pertumbuhan sektor pertanian dua kali lipat dari 3 persen menjadi 6 persen, akan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah bruto dari 4,2 persen menjadi 7 persen. Karena pertumbuhan populasi adalah 2,4 persen pada tahun 1998, menggandakan pertumbuhan pertanian akan meningkatkan pendapatan per kapita dari 1,8 persen menjadi 4,6 persen (Lynn, 2003).
Peran sektor pertanian sangat diperlukan dalam upaya menurunkan kemiskinan. Data PBB menyatakan bahwa pada daerah pedesaan di negara berkembang terdapat sekitar 1 milyar penduduk dari 1,2 milyar penduduk hidup dalam kemiskinan absolut (absolute poverty). Bank Dunia mengetahui bahwa populasi, pertanian dan environment adalah kunci untuk mengetahui masalah yang dihadapi di Sub-Sahara Afrika, yaitu daerah yang paling miskin di dunia. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat yang tidak diimbangi oleh teknik pertanian menyebabkan kekurangan. Hal ini juga menyebabkan degradasi tanah dan penurunan produksi dan konsumsi makanan per kapita (Lynn, 2003).
Selain membutuhkan sumber daya finansial, sektor pertanian juga memerlukan teknologi maju dan infrastruktur. Diskriminasi pemerintah terhadap sektor pertanian akan menghalangi keseluruhan pembangunan (Lynn, 2003).
Transformasi Pertanian
Lynn (2003) mengemukakan bahwa keberhasilan sektor pertanian bukan hanya alat bagi pembangunan, tetapi keberhasilan di sektor pertanian juga menjadi tujuan dari pembangunan. Pertanian dapat menjamin penyediaan kebutuhan milyaran penduduk di masa depan. Hal yang berhubungan dengan transformasi sektor pertanian:
1. Peningkatan produktivitas pertanian.
2. Penggunaan sumber daya yang dihasilkan untuk pembangunan di luar sektor pertanian.
3. Integrasi pertanian dengan ekonomi nasional melalui infrastruktur dan pasar.
Pada tahun 1970-an, produktivitas pertanian di Asia dan Afrika 45 persen di bawah negara barat pada saat awal revolusi industri. Sejak beberapa dekade, pertumbuhan output pertanian semakin kecil dibandingkan dengan pertumbuhan output secara keseluruhan (Lynn, 2003).
Gambar 1 menunjukkan grafik indek hasil pangan per kapita pada beberapa bagian negara di dunia. Grafik pada gambar 1 diperlihatkan Afrika bagian Sub-Sahara hasil pangan per kapita semakin menurun, sedangkan Asia dan Amerika Selatan mengalami peningkatan yang kuat. Indonesia terlihat mengalami peningkatan, walaupun pernah mengalami penurunan sekitar tahun 1997 – 1999 diakibatkan krisis ekonomi dan kekacauan situasi politik (Lynn, 2003).
Tabel 3 menunjukkan laju pertumbuhan pertanian, pendapatan domestik bruto (PDB), dan populasi. Produksi pertanian pada negara berpendapatan rendah-menengah rendah tumbuh sedikit lebih cepat daripada pertumbuhan populasi (Lynn, 2003).
Pada abad XX, banyak ditemukan perlakuan yang salah kepada petani. Di Uni Soviet pada tahun 1920-an, Stalin mewajibkan petani menjual hasil pertaniannya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah. Harga beli yang rendah dan harga jual yang tinggi menghasilkan pendapatan bagi pemerintah. Petani kecil diperintahkan untuk bergabung (collective farm), sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan hasil. Pemerintah RRC juga mengikuti kebijakan collectivization (Lynn, 2003).
Kekuatan bukanlah alat untuk mengeksploitasi petani. Beberapa negara berkembang menekan harga pertanian rendah, beberapa negara mengenakan pajak akan aktivitas pertanian, mencabut modal pada daerah pedesaan, secara umum dapat dikatakan banyak negara menempatkan industrialisasi di atas segalanya. Model Lewis hanya membuat beberapa ekonom dan pembuat kebijakan berpikir bahwa pertanian adalah tempat untuk mempekerjakan kelebihan tenaga kerja yang tidak terserap oleh industrialisasi (Lynn, 2003).
Nilai tukar petani (sectoral terms of trade) untuk pertanian adalah rasio harga barang pertanian (Pa) dan harga barang industri (Pi). Kenaikan nilai tukar petani (NTP) berarti harga pangan naik lebih cepat daripada barang industri. Petani dapat membeli lebih banyak keperluan mereka pada hasil yang sama dan mendorong petani untuk meningkatkan hasil mereka (Lynn, 2003). Nilai tukar petani (NTP) juga dapat menjadi indikator tingkat kesejahteraan petani, semakin tinggi NTP semakin tinggi daya beli petani.
Sebuah studi mengenai Indonesia, menghitung rasio Pa/Pi, dan laju pertumbuhan pendapatan daerah bruto (PDB) pertanian. Apabila nilai tukar petani adalah 0,78 selama tiga periode, dan pertumbuhan 0,9 persen per tahun. Ketika nilai tukar petani meningkat menjadi 0,83 dan 1,06, pertumbuhan pertanian meningkat menjadi 4,3 persen dan kemudian menjadi 8,3 persen (Lynn, 2003).
Peningkatan nilai tukar petani (terms of trade) hanyalah pada masa transisi. Gambar 2 mengilustrasikan bagaimana harga pertanian relatif berubah seiring dengan waktu. Sebagai respon harga pertanian yang tinggi, sumber daya akan ditarik ke pertanian (P1), lalu meningkatkan hasil (S2). Ini kemudian berlanjut sebagai awal peningkatan permintaan pangan (D2). Lambatnya permintaan akan pangan dan bahan baku (D3), dan produktivitas pertanian dan penawaran meningkat (S3). Nilai tukar petani (terms of trade) berbalik dan akan mendorong industri. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, pertanian harus menjadi prioritas. Supaya pertanian tetap menarik dibutuhkan kenaikan atau stabilitas nilai tukar petani (terms of trade) yang merefleksikan kelangkaan (Lynn, 2003).
HARGA PERTANIAN: PASAR DAN PEMERINTAH
Salah satu persoalan dalam kebijakan pertanian adalah penetapan harga dari produk pertanian. Pemerintah pada negara berkembang sering mengambil alih keputusan penetapan harga. Pernyataan dari Ekonom barat bahwa negara miskin harus membiarkan pasar bekerja terlihat bohong, terbukti dengan adanya subsidi kepada pertanian pada negara maju (Lynn, 2003).
Keputusan apa yang akan ditanam, di mana akan dijual, di mana akan dikerjakan, dan banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh petani kecil, suatu saat harus cepat, untuk merubah harga relatif. Perlawanan terhadap perubahan adalah fungsi dari ke-tidak-aman-an ekonomi (Lynn, 2003).
Konsekuensi Pembatasan Harga (Price Ceiling)
Pandangan yang salah akan perilaku petani membawa pemerintah untuk mengatur harga pasar terbawah. Banyak pemerintah mempercayai bahwa pemaksaan akan mempertahankan produksi pertanian, padahal kekurangan penawaran untuk pasar akan membuat harga menjadi tidak relevan bagi petani. Kebijakan harga murah (low-price policy) yang mengenakan pajak pertanian dan subsidi politik kepada masyarakat kota (Lynn, 2003).
Gambar 3 menunjukkan bagaimana pembatasan harga (price ceiling) menurunkan insentif untuk memproduksi pangan dan mendorong konsumsi. Ketika adanya pembatasan harga (Pc¬), produksi turun dari Qe menjadi Qs, dan pendapatan petani turun dari area PeXQe0 menjadi PcYQs0. Konsumen dapat membeli pada Qd, dan kelebihan permintaan akan dipenuhi oleh impor, baik yang legal maupun tidak legal (Lynn, 2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa gambar 3 dapat disederhanakan menjadi 2 cara.
1. Grafik menunjukkan pasar untuk pangan yang mana penawaran dan permintaan adalah harga inelastis. Elastisitas harga penawaran pertanian secara keseluruhan mengindikasikan respon lemah terhadap perubahan harga, terutama dalam jangka pendek. Harga yang lebih rendah untuk jagung akan mendorong petani untuk gandum atau kapas. Kurva penawaran dan permintaan untuk produk individu dan pada jangka panjang seharusnya lebih elastis.
2. Karena grafik menunjukkan pembatasan harga yang ditentukan oleh pemerintah, respon penawaran dan permintaan merujuk pada pasar di mana harga tersebut relevan. Harga resmi yang lebih rendah dapat menyebabkan bukan hanya produksi yang turun, akan tetapi juga penurunan produksi yang dilaporkan, karena petani menjual secara pribadi.
Lynn (2003) menjelaskan bahwa pemerintah melakukan penetapan harga dengan beberapa alasan. Penetapan harga yang rendah disebabkan oleh:
1. Pengertian yang salah akan respon petani terhadap harga, beberapa pejabat pemerintah mempercayai bahwa dengan harga yang tinggi hanya orang kaya dan petani besar saja yang diuntungkan.
2. Pemerintah berpendapat bahwa harga pangan yang rendah akan memberikan dampak yang positif bagi konsumen dan keuntungan bisnis. Melalui marketing boards, perusahaan yang membayar harga rendah pada petani dan menjual dengan harga tinggi pada konsumen, terutama konsumen luar negeri.
3. Pemerintah berpikir mereka dapat mengumpulkan dana untuk pembangunan.
4. Pemerintah percaya bahwa dengan penetapan harga pertanian yang rendah dapat mendorong industrialisasi.
Sebagian besar dari asumsi tersebut adalah salah. Walaupun harga pangan dan bahan baku yang rendah menguntungkan konsumen dan industri, akan tetapi hal ini membunuh pertanian di banyak negara, terutama di Afrika. Petani yang miskin dirugikan karena mereka hanya memiliki sedikit pilihan untuk menanami tanah mereka (Lynn, 2003).
Karena kesalahan ini, pemerintah tetap segan membiarkan pasar untuk menentukan harga pertanian. Pejabat pemerintah kadang mencurigai bahwa pasar akan memberi kesempatan kepada tengkulak untuk mengeksploitasi petani miskin. Kejadian tak terduga juga menyebabkan fluktuasi yang tinggi untuk produk pertanian. Fluktuasi membatasi keefektifan dari harga sebagai sinyal kepada produsen dan menyebabkan ketidakpastian pada konsumen. Produsen merespon harga lebih dapat dipercaya (Lynn, 2003).
Harga pertanian yang ditentukan pasar mencerminkan keterbukaan pada perdagangan luar negeri. Resesi dan subsidi pada negara industri dapat menekan harga pertanian. Negara berkembang sebagai pengekspor produk pertanian akan menekan pendapatan ekspor, produksi domestik yang bersaing dengan bahan pertanian hasil subsidi dari negara maju akan rugi. Kemampuan untuk menyediakan bahan pangan murah kepada rakyat terutama daerah kota akan menjadikan problem tersendiri. Harga pangan yang tinggi akan menyebabkan tuntutan gaji yang lebih tinggi, dan akan menstimulasi inflasi (Lynn, 2003).
Konsekuensi Lain pada Intervensi Harga
Banyak pemerintah negara berkembang mencoba untuk menjembatani perbedaan antara harga pertanian yang terlalu tinggi untuk konsumen dan terlalu rendah untuk produsen dengan melakukan intervensi dalam penetapan harga. Pemerintah dapat menentukan harga farm-gate, yaitu harga yang diterima oleh petani dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan produksi. Proses ini sangat rumit karena ada sejumlah banyak jenis hasil pertanian, dengan kemungkinan untuk petani untuk melakukan subtitusi dari hasil pertanian satu ke hasil pertanian lainnya. Pengendalian harga juga ditempatkan pada bahan pertanian yang telah diolah pada tingkat harga eceran (Lynn, 2003).
Kesalahan dalam penetapan harga menyebabkan banyak masalah. Harga farm-gate yang rendah mengakibatkan produksi rendah ataupun penjualan hasil pertanian di luar jalur resmi. Harga eceran yang terlalu rendah menyebabkan subisidi pemerintah yang besar (Lynn, 2003).
Pemerintah juga sering mencoba untuk mengimbangi harga farm-gate yang rendah dengan subsidi harga bahan baku pertanian, akan tetapi hal ini menimbulkan masalah tersendiri. Subsidi pada pabrik pupuk pemerintah yang tidak efisien akan menyebabkan biaya produksi tinggi dan pengiriman yang tidak efisien. Subsidi untuk membeli mesin menyebabkan overmechanization. Mempromosikan kredit, baik melalui subsidi suku bunga atau mencoba kekuatan bank untuk meminjamkan dana kepada petani, umumnya gagal mengefisienkan alokasi dana untuk petani (Lynn, 2003).
Harga Bukan Segalanya
Peter Timmer menyarankan bahwa fungsi utama pemerintah bukan hanya merangsang produksi dalam jangka pendek, akan tetapi juga dalam menciptakan iklim investasi dan ekspektasi pembuat keputusan pada ekonomi pedesaan akan keuntungan aktivitas di pedesaan di masa depan. Harga harus ditempatkan sesuai context (Lynn, 2003).
Sebuah penelitian mengenai kebijakan harga pertanian di Asia menyimpulkan bahwa keuntungan mendorong produksi, keuntungan bukan hanya menyangkut harga. Penelitian jangka panjang mengenai kebijakan pertanian oleh Bank Dunia menyatakan bahwa bila insentif harga yang sesuai berdasarkan makro ekonomi dan kebijakan sektoral memainkan peran penting dalam menjelaskan kinerja, kualitas sumber daya alam dan dari teknologi, institusi, politik, dan investasi manusia dan investasi menentukan kemampuan petani kecil untuk mengelola tanah dan tenaga kerja, dua faktor penting yang menjelaskan pertumbuhan (Lynn, 2003).
Masalah dari Liberalisasi Pasar Pertanian
Pengendalian pemerintah pada harga dan pemasaran pertanian terlihat mencolok di beberapa negara Afrika. Penetapan harga masih tersisa di pasar, pemerintah mengijinkan pendekatan privatisasi lebih besar (Lynn, 2003).
Pendekatan privatisasi telah berhasil dalam hal mengirimkan pangan untuk daerah kota dan pedesaan, akan tetapi tidak ada peningkatan dalam penawaran seperti yang diperkirakan oleh pendukung reformasi. Hal ini menjelaskan bahwa memperoleh harga yang benar hanyalah bagian dari jawaban. Kekurangan infrastruktur, penelitian, informasi pasar, dan dukungan legal dan organisasi telah melemahkan kemampuan petani untuk mencapai harga yang lebih tinggi (Lynn, 2003).
TANAH, TENAGA KERJA DAN MODAL DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Faktor produksi seperti tanah (land), tenaga kerja (labor) dan modal (capital) mengubah bahan baku menjadi barang dan jasa. Hubungan interrelasi digambarkan pada gambar 4. Pada gambar dijelaskan petani menkombinasikan sejumlah input dengan tanah untuk memproduksi bahan pertanian. Bahan pertanian melewati tahap tambahan untuk dapat digunakan. Bahan pertanian sebagai bahan pangan ataupun bahan baku industri menyediakan dan memperbanyak lapangan kerja pada produksi barang dan jasa yang digunakan oleh petani (Lynn, 2003).
Tanah (Land)
Lynn (2003) mengemukakan bahwa kebijakan pertanian harus juga memperhatikan masalah lingkungan. Dua aspek dari tanah sangat penting. Aspek tersebut adalah:
1. Pengertian fisik dari tanah.
2. Hubungan legal antara tanah dan petani.
Petani harus mengerti mengenai karakteristik tanah sebelum memilih jenis tanaman yang akan ditanam dan teknik yang akan digunakan. Monocropping yaitu menanami area yang luas dengan satu jenis tanaman seperti yang pernah dilakukan di Amerika Utara dan di Asia Tenggara dapat berbahaya. Cuaca buruk, hama, penyakit, atau penurunan permintaan konsumen dapat merugikan pada penanaman satu jenis tanaman (Lynn, 2003).
Diversifikasi tanaman yang sesuai memelihara nutrisi tanah dan melindungi petani dari harga yang rendah pada penanaman jenis tanaman tunggal. Kebutuhan untuk pengetahuan yang tinggi dan spesifik mengenai geografi dan ekologi berarti penelitian diperlukan untuk menjamin kecocokan tanah, tanaman, dan teknik. Teknik di sini termasuk pemilihan dan penggunaan pupuk, mesin yang tepat, praktik pertanian itu sendiri seperti waktu tanam dan crop rotation (rotasi tanaman) (Lynn, 2003).
Tekanan populasi dan perubahan pada tanaman atau metode pertanian mengarah pada degradasi tanah (soil degradation). Studi pada pertanian Kenya mengevaluasi sejumlah tanaman dari makanan pokok seperti jagung dan kedelai untuk diekspor, termasuk teh, kopi, sayuran (seperti tomat), dan bunga. Perlindungan tanah alami digantikan jagung dan kedelai sehingga mengurangi kekuatan erosi tanah. Sayuran mendorong ekspor ke Eropa, membuat perlindungan tanah yang jelek, menggunakan pupuk dan pupuk secara besar-besaran, yang terbawa ke lokasi lain melalui saluran irigasi, dan menggunakan bibit impor, yang dapat membawa hama asing. Teh yang diekspor selama beberapa dekade, relatif ramah kecuali sejumlah besar bahan bakar yang dibutuhkan saat proses pengeringan. Pertimbangan seperti inilah yang dibutuhkan untuk memutuskan secara berhati-hati apa yang akan ditanam dan di mana akan ditanam (Lynn, 2003).
Petani lebih produktif apabila mereka memiliki tanah secara langsung. Akan tetapi karena kepemilikan tanah sangat mahal. Tabel 4 menyajikan risiko dan insentif pada beberapa jenis kontrak. Banyak petani sebagai pekerja bayaran ataupun penyewa tanah melalui perjanjian penggunaan tanah (tenancy agreement). Perjanjian sewa biasanya dibayar dengan sistem sewa maupun bagi hasil panen (sharecropping). Negara industri biasanya menggunakan kontrak sewa murni atau sistem gaji secara murni dibandingkan menggunakan sistem bagi hasil (sharecropping) (Lynn, 2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa pembagian hasil panen (sharecropping) dapat mengurangi motivasi petani, akan tetapi pembagian hasil panen memiliki dua keuntungan:
1. Mengurangi risiko bagi petani yang tidak memiliki modal, kecuali risiko cuaca dan pasar yang tidak baik.
2. Pembagian hasil memberikan petani jalan untuk mendapatkan kredit kepemilikan tanah.
Pentingnya hubungan antara petani dan pemilik tanah membawa satu isu politik yang besar dalam pembangunan ekonomi yaitu reformasi tanah (land reform), yaitu perubahan dalam struktur kepemilikan tanah (Lynn, 2003).
Sepanjang sejarah pembangunan dunia, kolonialisme memberikan bekas pada tanah. Jepang di Korea dan bangsa Eropa dan Amerika di Afrika, Asia dan Amerika Latin menghasilkan tanah yang hanya ditanami satu jenis tanaman, seperti kopi, teh, tebu, pisang, dan lainya yang ditanam untuk ekspor. Penjajah biasanya memiliki tanah yang paling subur, bahkan setelah kemerdekaan suatu negara, perkebunan ini tetap dimiliki oleh bangsa asing, oleh karena itu kebutuhan yang paling sering untuk reformasi tanah adalah untuk menggulingkan perkebunan tersebut (Lynn, 2003).
Lynn (2003) mengemukakan bahwa pihak yang diuntungkan dari adanya reformasi tanah adalah orang yang tidak memiliki tanah dan bekerja untuk pemilik tanah dengan upah yang rendah. Beberapa pembenaran ekonomi untuk menggulingkan perkebunan dan latifύndios (tanah luas) yaitu:
1. Pemilik asing yang pergi biasanya meninggalkan tanah dan dibiarkan tak tergarap dan tidak memiliki kontribusi kepada pembangunan.
2. Tanaman cenderung untuk ekspor, sehingga adanya kekurangan pangan untuk rakyat.
3. Kepemilikan tanah bagi petani kecil akan menyediakan insentif dan akan mendorong metode pertanian yang lebih produktif.
4. Pemerataan pendapatan akan mendorong kebutuhan akan barang konsumsi.
Pengalaman di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan menunjukkan bahwa distribusi tanah yang lebih merata. Bruce Johnston menyebut bentuk unimodal yaitu tingkat kepemilikan medium sized kebalikan dari bimodal yaitu tingkat kepemilikan yang sangat besar dan tingkat kepemilikan yang sangat kecil. Setelah perang dunia kedua, pengusiran Jepang dari Korea menyebabkan distribusi tanah yang dimiliki oleh Jepang dan orang Korea yang bekerja sama dengan Jepang (Lynn, 2003).
Bukti empiris menunjukkan bahwa pertanian kecil lebih efisien. Beberapa penelitian menghitung produktivitas pertanian kecil. Salah satu dari penelitan tersebut ditunjukkan pada tabel 5. Nilai tambah per hektar menurun dengan meningkatnya ukuran kepemilikan tanah. Di lain pihak nilai tambah per pekerja naik seiring dengan ukuran tanah, hal ini kemungkinan adanya penggunaan mesin (mechanization) (Lynn, 2003).
Bila petani untuk dari bekerja lebih intensif sesudah reformasi, output per hektar dapat meningkat walaupun output per pekerja turun, dan ini akan menjadi menguntungkan sampai saat marginal product dari pekerja sama dengan gaji. Mempekerjakan anggota keluarga pada pertanian kecil lebih efisien daripada mengupah pekerja, hal inilah yang menyebabkan pemilik tanah pertanian yang luas menyewakan tanahnya ke keluarga petani (Lynn, 2003).
Dari sisi ekologi, reformasi tanah harus bertujuan untuk menyediakan keamanan yang diperlukan untuk mendorong penggunaan tanah yang berkelanjutan (sustainable use of the land). Penggunaan tanah baik oleh individu maupun kelompok dapat merusak kelanjutan dalam jangka panjang (sustainable in the long run) karena keinginan untuk memperoleh keuntungan yang cepat (Lynn, 2003).
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa reformasi tanah sebagian besar gagal. Kasus yang paling sukses adalah Jepang setelah perang dunia kedua, Taiwan setelah menyingkirnya pemerintahan nasionalis dari daratan (mainland) sejak revolusi komunis, dan Korea Utara setelah perang Korea, hal ini dikarenakan adanya beberapa perkecualian (Lynn, 2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa kunci keberhasilan reformasi tanah seperti di Jepang dan Taiwan yaitu terdapat organisasi politik yang lebih baik dan birokrasi pemerintahan mampu membawa reformasi. Reformasi yang dicoba di Amerika Latin, Filipina, Mesir, dan India gagal karena satu dari problem di bawah ini, problem tersebut adalah:
1. Ketidakmampuan kekuatan politik untuk membawa reformasi
2. Kurangnya kebijakan ekonomi yang tepat untuk mendukung pemilik tanah yang baru.
Tenaga Kerja (Labor)
Lynn (2003) menjelaskan bahwa ada 2 karakteristik penting tenaga kerja pada pertanian:
1. Orang yang menanam harus memiliki keahlian yang banyak.
2. Perempuan dan anak-anak memiliki bagian yang signifikan dalam tenaga kerja pertanian.
Lynn (2003) menjelaskan bahwa kegiatan pertanian sangat bermacam-macam. Kegiatan tersebut adalah:
1. Persiapan pengadaan alat kerja, tenaga kerja, bibit, pupuk dan hal lain yang dibutuhkan.
2. Persiapan tanah.
3. Penanaman, penyiangan.
4. Penyemprotan pestisida.
5. Pengusiran burung dan binatang dari sawah.
6. Pengambilan hasil panen.
7. Penyimpanan hasil panen.
8. Penjualan hasil panen.
9. Perawatan peralatan.
Beberapa tanaman ditanam dan dipanen tidak dalam waktu bersamaan, hal ini sering dilakukan lebih dari sekali setahun. Pertanian melibatkan juga peternakan, baik skala besar, skala kecil, untuk diperdagangkan maupun konsumsi sendiri (Lynn, 2003).
Lynn (2003) juga menjelaskan bahwa selain aktivitas di atas, petani juga memiliki tugas lain. Tugas tersebut adalah:
1. Merawat rumah
2. Merawat anak dan orang tua.
3. Mencari pinjaman.
4. Berurusan dengan pemerintah.
5. Berpartisipasi pada politik desa dan organisasi sosial.
Kegiatan ini memerlukan penjadwalan yang tepat. Anak mungkin diperlukan untuk bekerja di sawah, opportunity cost dari pendidikan mereka akan menjadi lebih tinggi saat puncak musim, contohnya saat panen (Lynn, 2003).
Salah satu masalah yang dihadapi dalam mengembangkan produksi pertanian adalah pembagian kerja berdasarkan gender. Di banyak negara terutama di Afrika, bisnis pedesaan didominasi oleh wanita. Wanita dan anak-anak mengemban beban yang paling berat secara fisik. Contohnya adalah jalan jauh untuk mencari kayu bakar dan air, menyiapkan tanah, menyiangi, dan memanen. Selain itu wanita sering menggendong anak. Wanita harus menjual sebagian atau seluruh hasil panen serta mengerjakan pekerjaan rumah (Lynn, 2003).
Ringkasan dari 12 penelitian mengenai jam kerja harian di daerah pedesaan menunjukkan bahwa hanya 2 kasus pria bekerja lebih lama, itupun tidak signifikan (8,54 jam per hari dibandingkan 8,50 jam kerja wanita). Sedangkan 10 penelitian lainnya mengungkapkan bahwa wanita bekerja lebih lama (9,93 jam per hari dibandingkan 7,13 jam kerja pria) (Lynn, 2003).
Penyuluhan pemerintah ke desa biasanya hanya mengundang penduduk pria saja, walaupun sebenarnya wanita yang mengerjakannya. Jarang ada proyek pengembangan yang berorientasi kepada wanita (Lynn, 2003).
Modal: Masalah dengan Mesin
Lynn (2003) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pembangunan pertanian di masa lalu yang terjadi di negara industri dengan yang sekarang terjadi di negara berkembang. Di negara barat, intensitas modal (rasio modal dengan pekerja) pertanian meningkat secara perlahan, biasanya dikarenakan sumber daya tanah yang berlebihan. Penggunaan modal berhubungan dengan kelangkaan tenaga kerja, hal ini kebalikan dengan padatnya penduduk di daerah pedesaan saat ini. Keuntungan pertanian di awal negara maju adalah:
1. Tidak tergantung dengan mesin, spare part, dan bahan bakar impor.
2. Memiliki kemampuan teknologi tanpa tergantung dengan ahli luar negeri.
3. Tidak berkompetisi dengan bahan pangan impor yang murah.
Penggunaan mesin harus dipertimbangkan untung ruginya. Mesin pertanian harus tepat guna. Dengan penurunan area, alat tangan, mesin kecil, bajak lebih efisien daripada penggunaan traktor. Pengaturan sosial yang baik dapat membuat sekelompok orang untuk berbagi pakai mesin (Lynn, 2003).
Pendanaan Pembangunan Pertanian
Kurangnya dana pinjaman sering menghalangi petani dalam mengadopsi teknologi baru. Institusi keuangan formal jarang didirikan di daerah pedesaan karena bankir berpikir bahwa di pedesaan tabungan sangat kecil dan jarang ada investasi yang menguntungkan. Institusi pemerintahan biasanya juga menunjukkan perilaku yang sama (Lynn, 2003).
Ketika tabungan potensial ada di daerah pedesaan, tabungan individu cenderung sedikit dan tersebar di antara populasi. Di beberapa daerah khususnya di Amerika Tengah dan Karibia, berhasil mengumpulkan tabungan di daerah pedesaan. Bank Grameen di Banglades biasanya menyediakan pinjaman non-pertanian di daerah pedesaan. Proyek di Malaysia dan Malawi menunjukkan hasil yang sama yang diperoleh negara lain. Bank Rakyat Indonesia mendirikan sistem bank pedesaan yang telah mencapai “jutaan” nasabah berpendapatan rendah di daerah pedesaan tanpa bergantung pada subsidi (Lynn, 2003).
Tujuan utama dari kebijakan kredit harus dapat menciptakan seperangkat institusi keuangan di daerah pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan (self-sustaining). Tujuan dari institusi ini tidak hanya menyediakan pinjaman dengan mudah, akan tetapi juga mampu memobilisasi tabungan. Institusi ini harus menyediakan keuntungan untuk penabung (Lynn, 2003).
Pendanaan informal biasanya terdapat di daerah pedesaan, biasanya menyediakan pinjaman dengan bunga tinggi dan memiliki kekuatan monopoli, walaupun tidak semuanya. Pinjaman sudah menjadi kehidupan pada pertanian. Kebutuhan komunitas diidentifikasi dengan kebutuhan individu. Institusi terbaru yang mengganti pendanaan informal harus membuat kondisi menjadi lebih baik, bukan lebih buruk (Lynn, 2003).
Adopsi Teknologi: Agricultural Extension
Mesin hanyalah salah satu aspek teknologi. Teknologi pertanian melibatkan masalah fundamental seperti metode penanaman, pupuk untuk tanah tertentu, dan cara penanaman bibit jenis baru yang benar. Penelitian sampai menjadi bibit membutuhkan kondisi tanah dan iklim yang baik. Petani harus mempertimbangkan hubungan antara pupuk dan ekologi. Efektivitas pupuk harus seimbang dengan biayanya. Agricultural extension adalah sebuah cara untuk pegawai pemerintahan yang telah terlatih untuk membantu petani belajar mengenai dan menggunakan teknologi baru. Sebidang tanah kecil ditanami oleh agen ekstensi dengan kondisi yang sama dengan yang dihadapi petani dapat menghasilkan beberapa hasil. Sebaliknya, agen ini harus terbuka kepada teknik yang digunakan penduduk lokal. Percobaan mengkonfirmasi bahwa petani akan mengadopsi jenis bibit baru dan teknik baru yang terbukti dapat diandalkan secara teknik maupun ekonomis. Pengalaman di Turki dan India menunjukkan bahwa agen harus sering mendatangi pertanian. Sistem pelatihan dan kunjungan (training and visit system) dari Bank Dunia menunjukkan keuntungan yang dihasilkan dari kontrak antara agen dan petani (Lynn, 2003).
Inovasi lingkungan menjadi penting sehingga beberapa ekonom secara eksplisit mengikuti model induced innovation dari pembangunan pertanian. Model ini menekankan pada insentif untuk menabung dari sumber daya yang langka. Pada negara yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia, seperti Amerika Serikat dan Kanada, pembangunan teknologi awalnya menekankan menggunakan mesin yang banyak sehingga hanya diperlukan sedikit pekerja untuk ladang pertanian yang besar. Pada negara yang memiliki keterbatasan tanah dan modal, seperti di Asia, induced innovation ditekankan pada alat biologi dan kimia untuk meningkatkan produktivitas (Lynn, 2003).
Karakteristik Sosial dari Teknologi: The Green Revolution
Green Revolution merujuk pada peningkatan produksi dengan kombinasi dari jenis bibit yang tinggi (high yielding) hasilnya dengan penggunaan air dan pupuk yang intensive. Aplikasi dari teknologi baru ini memiliki konsekuensi sosial (Lynn, 2003).
Green Revolution pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah tanggapan pada keprihatinan global mengenai pertumbuhan yang lambat dari produksi pangan di negara berkembang. Ini adalah hasil dari penelitian pertanian yang sebagian besar dilakukan oleh International Rice Research Institute di Filipina dan International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT adalah singkatannya dalam bahasa spanyol) di Mexico. Penelitian ini mengenalkan bibit yang high yielding varieties (HYVs – kadang disebut juga MVs – modern varieties), dan dielu-elukan sebagai penyelamat pertanian negara berkembang (Lynn, 2003).
Kesulitan timbul ketika bibit ini membutuhkan sejumlah tanah, air, pupuk dan mesin yang sering tidak dimiliki petani kecil. Beberapa orang melihat hal ini sebagai cara lain dari pemiskinan petani kecil, memperkaya pemilik tanah dan negara maju yang menyediakan inputs (Lynn, 2003).
Sebuah studi yang dilakukan Inderjit Singh (1990) menunjukkan beberapa hasil Green Revolution Banglades, India dan Pakistan yang menghasilkan output per hektar dua kali lipat daripada bibit tradisional. Walaupun tanpa penggunaan pupuk, beberapa HYVs menghasilkan satu setengah kali hasil dari padi tradisional dan satu dua per tiga untuk gandum. Singh (1990) menyimpulkan bahwa banyak penyakit sosial berhubungan dengan paket HYVs adalah disebabkan kebijakan implementasi bukan teknologinya (Lynn, 2003).
Artikel mengenai analisis Green Revolution di Banglades menyimpulkan bahwa Green Revolution menghasilkan padi yang lebih banyak dan lebih konsisten akan tetapi tidak cukup untuk meningkatkan konsumsi per kapita. Konsumsi padi-padian digantikan oleh konsumsi pangan lainnya seperti buah, sayuran, dan ikan (Lynn, 2003).
Petani dan para ahli lingkungan prihatin akan dampak dari penggunaan bibit dan teknologi baru terhadap kerusakan tanah. Bila kesuburan tanah rusak dan keanekaragaman tanaman berkurang, ini akan menjadi masalah besar bagi ekologi (Lynn, 2003).
Bagi pemerintah, apabila penyediaan pangan relatif terjamin, maka pemerintah dapat mengganti perhatian kepada kebutuhan pembangunan yang lainnya. Berkurangnya subsidi pemerintah dapat membebaskan beberapa sumber daya untuk penelitian, pendidikan dan infrastruktur (Lynn, 2003).
Bioteknologi menjanjikan dapat mengatasi masalah keterbatasan Green Revolution. Penelitian rekayasa genetik ditujukan untuk meningkatkan kemampuan tanaman untuk mengambil nitrogen dari tanah, tahan akan penyakit, dan meningkatkan nilai nutrisi. Biofertilizers digunakan untuk membantu tanaman menyerap lebih banyak nitrogen dari atmosfer, dan tanaman hijau dapat digunakan sebagai pupuk pengganti pupuk kimia (Lynn, 2003).
ASPEK TAMBAHAN PADA PEMBANGUNAN PERTANIAN
Pembangunan pertanian adalah bagian utuh dari pembangunan. Industri harus menyediakan barang untuk petani. Lapangan kerja non pertanian perlu untuk mempertahankan keluarga di daerah pedesaan. Produksi pangan harus konsisten dengan selera konsumen (Lynn, 2003).
Barang Insentif
Petani tidak memproduksi surplus untuk mendapatkan uang. Uang sangat berharga jika ada barang yang bisa dibeli, kadang disebut barang insentif (incentive goods). Apabila barang insentif kurang tersedia, hasil pertanian dapat turun, atau bisa terjadi penyelundupan bahan baku ke luar negeri untuk ditukarkan dengan barang konsumsi. Kekurangan barang insentif juga dapat menyebabkan eksodus populasi (Lynn, 2003).
Industri Pedesaan
Pertanian bukan satu-satunya aktivitas yang dilakukan di daerah pedesaan. Kegiatan lainnya seperti kegiatan jasa yang berhubungan dengan pertanian, yaitu pemasaran, pendanaan, penyediaan jasa sosial, perawatan mesin, jasa eceran, pemerintahan dan jasa manajemen dan administrasi. Sebagai tambahan, pedesaan juga membutuhkan manufakturing, dari bahan baku yang dihasilkan dari sektor pertanian, yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dari daerah yang jauh. Aktifitas tersebut meliputi pengolahan padi dan pengolahan makanan lainnya, pakaian, barang kulit, material konstruksi, dan peralatan pertanian (Lynn, 2003).
Bukti empiris mengindikasikan bahwa kegiatan industri di pedesaan tidak hanya menyediakan lapangan kerja, akan tetapi juga menyediakan sumber penghasilan yang penting bagi rumah tangga di pedesaan. Beberapa bukti menunjukkan industri di pedesaan lebih efisien dan ekonomis daripada industri skala besar di kota (Lynn, 2003).
Urbanisasi memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif. Penelitian dari Uttar Pradesh, sebuah daerah di India menunjukkan urbanisasi dapat memberikan aliran dana ke relasinya di pedesaan (Lynn, 2003).
Sumbangan penting bagi kegiatan non pertanian di daerah pedesaan adalah pemberdayaan wanita untuk mengelola kegiatan non pertanian di daerah pedesaan. Sebagai tambahan dalam pengembangan pangan, seperti pemasaran pangan, atau sebagai pekerja kerajinan atau pekerja pabrik, pendapatan wanita penting untuk meningkatkan hidup di atas garis kemiskinan. Pendidikan wanita, status resmi, dan akses kredit akan mendukung posisi wanita di dalam industri pedesaan (Lynn, 2003).
Konsumsi Pangan: Perubahan Pertanian dan Makanan
Kebiasaan makan sangat sulit untuk diubah, bahan pangan jenis baru akan sulit diterima. Pengembangan teknologi baru di bidang pertanian harus menyesuaikan keinginan pasar (Lynn, 2003).
Pada sisi sebaliknya, perubahan kebiasaan makan juga menimbulkan persoalan. Perubahan negara berkembang menjadi negara industri, mereka akan terpaksa membeli apapun yang ditawarkan, pengenalan akan jenis pangan yang baru menyebabkan perubahan selera. Hal ini dapat mempengaruhi produksi lokal kurang bersaing dengan komoditi baru. Pemerintah harus berhati-hati akan hal ini, pemerintah jangan menggunakan sistem harga buatan yang mendorong makanan pengganti yang mahal (Lynn, 2003).
PERAN PEMERINTAH
Campur tangan pemerintah di bidang pertanian merupakan fenomena yang telah mendunia. Subsidi pertanian dan dukungan pemerintah pada negara maju hanya mendorong efisiensi dan merusak negara miskin dengan menurunkan daya saing hasil pertanian negara miskin (Lynn, 2003).
Peran Mikro Ekonomi Pemerintah
Salah satu “rule of thumb” yang baik adalah perusahaan swasta yang independen memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dari badan pemerintah dalam membawa fungsi komersial, seperti produksi atau pemasaran produk pertanian dan mendistribusikan kebutuhan pertanian. Di Tanzania, Zambia dan beberapa negara di Afrika, pemerintah mengambil alih pendanaan, industri pokok, dan operasi impor ekspor. Dalam 10 sampai 15 tahun, dengan alasan menghilangkan eksploitasi perusahaan swasta, pemerintah tersebut mengoperasikan jasa angkutan lokal, mendirikan retail kecil, dan beberapa perusahaan skala kecil. Dari aktivitas ini dengan cepat membuat buruk perekomomian karena maraknya ketidakmampuan dan korupsi (Lynn, 2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa campur tangan pemerintah harus dibatasi, campur tangan pemerintah di sektor pertanian sangat sulit untuk diidentifikasi. Beberapa aktivitas sangat penting untuk dilakukan pemerintah karena tidak terjangkau oleh petani kecil.
1. Infrastruktur.
Pemerintah, baik daerah maupun nasional, memiliki peran penting dalam menyediakan infrastruktur. Beberapa proyek seperti jalan, listrik, komunikasi, dan irigasi membutuhkan modal yang besar, jangka panjang dan menciptakan ekonomi eksternal. Infrastruktur ini membuat pertanian lebih produktif dan menghancurkan rintangan masuk ke pasar, selain itu juga meningkatkan efisiensi dari alokasi sumber daya.
2. Informasi
Penyediaan informasi sangat bermacam-macam. Petani membutuhkan informasi mengenai kondisi pasar, teknologi baru dan cuaca. Penelitian dan pengembangan menjadi target utama pemerintah, juga jasa tambahan yang membawa hasil riset ke pertanian. Pendidikan dan pelatihan membantu petani meningkatkan dan mengolah operasi mereka.
3. Membangun pasar
Pemerintah dapat membantu menciptakan dan meningkatkan pasar dengan menyediakan pengukuran akurat untuk hasil panen, penyediaan asuransi kegagalan panen, dan mendorong kredit skala kecil untuk membuat simpan pinjam lebih mudah bagi petani. Pada beberapa kasus ketika area terisolasi, pemerintah dapat memulai membuat transportasi, penyimpanan, dan pemasaran fasilitas, aktivitas ini akan dilakukan oleh sektor swasta dan individu setelah penghalang antara pasar runtuh.
4. Kebijakan Publik
Pemerintah harus berhati-hati akan efek dari insentif yang diberikan. Sebagai contoh, pajak sangat penting akan tetapi tidak boleh mengurangi insentif produksi, karena akan menyebabkan perbandingan harga pedesaan dan perkotaan turun (rural/urban terms of trade).
Peran Makro Ekonomi Pemerintah
Studi mengenai dampak pemerintah pada pertanian sering menunjuk kepada masalah makro ekonomi yang tidak berhubungan dengan pertanian. Dampak ini dirasakan melalui 5 harga makro yaitu gaji, tingkat bunga, biaya sewa tanah, indek harga pertanian, dan nilai tukar mata uang (Lynn, 2003).
Tingkat bunga mempengaruhi ketersediaan dana untuk petani. Bila tingkat bunga tinggi demi memerangi inflasi, kredit akan terlalu mahal bagi petani yang tidak memiliki banyak modal (Lynn, 2003).
Kenaikan inflasi memiliki dampak negatif dalam penurunan daya beli. Masyarakat kota dapat menekan pemerintah untuk menekan harga pangan di bawah harga pasar. Biaya sewa tanah dapat naik sejalan dengan inflasi, harga tanah kemudian akan menjadi lebih tinggi, kenaikan ini menyebabkan petani miskin tidak memiliki tanah (Lynn, 2003).
Perbandingan nilai tukar petani (agriculture term of trade) akan tidak dapat diprediksi dengan peningkatan inflasi. Harga biasanya tidak naik secara sama, pemerintah lebih menekan harga pangan dari pada harga barang industri yang akan dibeli oleh petani. Inflasi menghambat investasi dan memperlambat peningkatkan produktivitas pertanian (Lynn, 2003).
Pemerintah juga dapat mengacaukan ekonomi dengan keputusannya dengan memanipulasi nilai tukar mata uang. Bila mata uang domestik dihargai di atas harga pasar, akan menyebabkan kehancuran terbesar di sektor pertanian. Pertama hal ini akan menghambat ekspor, karena orang asing harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan mata uang untuk membeli barang tersebut. Padahal pasar dunia sangat kompetitif. Kemudian hal ini mendorong impor karena mata uang asing relatif lebih murah, impor pangan akan menyebabkan tekanan bagi produksi, harga dan pendapatan di sektor pertanian. Impor barang modal dan barang intermediasi menyebabkan bias dalam produksi domestik menjadi industri dan menjauhi pertanian. Hal ini merusak pertanian di negara berkembang dan pemerintah perlu mencermati adanya keterkaitan antara makro ekonomi dan pertanian (Lynn, 2003).
PANGAN DAN PERTANIAN: SEBUAH KAJIAN KESEIMBANGAN
Ada sebuah pertanyaan fundamental mengenai tujuan pembangunan pertanian. Pertanian lebih dari hanya sekedar produksi pangan. Pertanian juga meliputi industri hasil pertanian seperti kapas, benang, pyrethrum (obat serangga), dan tembakau. Tidak semua tanaman ditanam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri melainkan juga untuk ekspor. Ada perdebatan mengenai pilihan yang harus diambil apakah negara miskin harus berkonsentrasi pada produksi bahan pangan dasar atau menanam tanaman untuk ekspor untuk mendapatkan devisa. Pilihan tidak hanya terbatas masalah keuntungan produsen ataupun permintaan konsumen. Ketergantungan dari banyak negara dalam pertanian berarti bahwa jenis tanaman memiliki dampak besar bagi pembangunan negara (Lynn, 2003).
Politik Kolonial
Di bawah pemerintahan kolonial, petani tidak dapat selalu memilih tanaman yang akan ditanam. Kekuatan kolonial mendikte pertanian sesuai kebutuhan negara penjajah, yang utamanya ditujukan untuk konsumsi langsung negara penjajah dan perdagangan. Perkebunan gula di Karibia dan Afrika, Perkebunan sisal di Afrika dan Asia, dan beberapa area lainnya adalah perintah dari pemerintahan kolonial. Kewajiban membayar pajak kepada petani dalam bentuk uang tunai memaksa petani untuk menanam tanaman demi uang daripada melakukan barter dan memaksa petani untuk meninggalkan keluarganya untuk bekerja di perkebunan yang jauh. Kemerdekaan disertai ketidakpercayaan kepada kekuatan pemerintah kolonial dan pasar dunia, memunculkan sebuah pertanyaan baru, haruskah sebuah negara mengubah orientasi produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, atau melanjutkan untuk bergantung pada ekspor hasil pertanian untuk memperoleh devisa yang akan digunakan untuk mengimpor makanan (Lynn, 2003).
Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan
Banyak kerusakan dilakukan pada produksi pertanian. Ketergantungan pada bahan pangan impor melahirkan kebijakan pemerintah untuk bermaksud memperoleh swasembada pangan dan ketahanan pangan (Lynn, 2003).
Swasembada pangan (self-sufficiency) penting untuk negara yang enggan bergantung pada saat kritis atau bergantung pada fluktuasi harga pangan internasional. Pada tahun 1973 harga beras dunia naik 85%, diikuti 90% pada tahun selanjutnya, hanya turun sepertiga di tahun 1975 dan 30% di tahun 1976. Banyak ekonom memilih ketahanan pangan daripada swasembada pangan. Hal ini melibatkan gabungan dari produksi domestik dan kepercayaan pada pasar internasional sebagai tambahan penting, dan teori ekonomi lama yaitu keuntungan komparatif (comparative advantage). Suatu negara memproduksi barang yang secara biaya relatif lebih unggul dan mengimpor barang lainnya, hal ini akan mengolah sumber daya lebih efisien serta memproduksi lebih banyak output dan pendapatan, makanan impor akan lebih murah daripada penggunaan sumber daya domestik yang tidak efisien (Lynn, 2003).
Swasembada pangan lebih mahal. Bukti menunjukkan bahwa kebijakan pertanian yang sesuai dapat menyeimbangkan bermacam-macam ekspor dan bahan pangan (Lynn, 2003).
Situasi Pangan
Kelaparan adalah sebuah fenomena setempat. Bank Dunia pada tahun 1986 dalam laporannya mengenai kemiskinan dan kelaparan (poverty and hunger began by noting) menyatakan dunia memiliki banyak makanan. Pertumbuhan global pangan lebih cepat daripada pertumbuhan populasi yang buruk pada 40 tahun terakhir (Lynn, 2003).
Data pada tabel 6 mengindikasikan masalah pangan. Produksi per kapita turun selama tahun 1974 – 1999. Bantuan pangan ke Afrika meningkat 2,5 kali lipat antara tahun 1974 – 1989. Beberapa penurunan ini menyebabkan kelaparan (Lynn, 2003).
Ekonomi harus dibangun berdasarkan basis sumber daya yang ada dan penaksiran yang realistik. Ekspor yang lebih beraneka jenis dan stabil sangat perlu untuk mengamankan dana impor pangan (Lynn, 2003).
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
1. Pemerintah biasanya kurang memperhatikan sektor pertanian karena mengidentifikasi pembangunan sebagai industrialisasi. Petani harus didorong dan diberikan insentif yang sesuai untuk meningkatkan produktivitas dan hasil demi meningkatkan kesejahteraan mereka dan menghasilkan makanan, tenaga kerja, dan modal untuk sektor industri dan jasa (Lynn, 2003).
2. Salah satu kunci dari kebijakan pertanian adalah membiarkan harga pertanian ditentukan oleh pasar. Harga pangan yang tinggi pada tahap awal pembangunan akan meningkatkan pendapatan untuk sebagian besar daerah pedesaan dan menghasilkan produksi yang lebih besar. Ketika penawaran berkembang lebih cepat daripada permintaan, nilai tukar petani (agriculture terms of trade) akan turun untuk pertumbuhan populasi daerah kota (Lynn, 2003).
3. Sektor pertanian yang sehat memerlukan perhatian pada efisiensi penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal, dengan memperhatikan proporsi faktor yang ada. Pemerintah dapat mendorong pertanian dengan penelitan, jasa tambahan, dan menciptakan iklim untuk pendanaan pedesaan supaya maju. Pemerintah harus lebih berhati-hati apabila berhadapan dengan aktivitas produksi dan distribusi, pemerintah sebaiknya menyerahkan sebanyak mungkin aktivitas kepada sektor swasta. Pemerintah juga harus merancang kebijakan makro ekonomi yang tidak mematikan pembangunan pertanian (Lynn, 2003).
DAFTAR RUJUKAN
Berry, Albert. 1972. Farm Size Distribution, Income Distribution, and the Efficiency of Agricultural Production: Colombia.” American Economic Review 62, No 2, May 1972, pp 406.
Kondonassis, A.J. et al. 1991. Major Issues of Global Development. Continuing Education and Public Service in cooperation with the Department of the University of Oklahoma. USA.
Lynn, Stuart R. 2003. Economic Development: theory and practice for a divided world. Prentice Hall. New Jersey.
Staff of the International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. 2005. World Development Report 2006: Equity and Development. Oxford University Press. New York.
Van den Berg, Hendrik. 1949. Economic Growth and Development: an analysis of our greatest economic achievements and our most exciting challenges. McGraw-Hill/Irwin. New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar